BREAKING NEWS

Angka Menyusut Nilai Rupiah Tak Surut

Angka Menyusut Nilai Rupiah Tak Surut/Sangfajarnews.


Oleh: Shupia Azkia, mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Universitas Mulawarman.

SANGFAJARNEWS.COM - Setiap hari, masyarakat Indonesia menjumpai deretan angka yang panjang dalam setiap transaksi. Mulai dari harga segelas kopi 10.000 hingga harga sepeda motor puluhan juta rupiah. Rupiah kita seolah “penuh dengan angka nol”. Sehingga muncul rencana penyederhanaan nominal rupiah, banyak pihak yang keliru mengartikan langkah tersebut sebagai pelemahan mata uang nasional. Namun, pengurangan jumlah nol dalam rupiah tidak mengubah daya beli, maupun nilai riil mata uang. 

Tujuan utama dilakukannya redenominasi adalah untuk memudahkan transaksi, menyederhanakan catatan keuangan, dan menata ulang sistem moneter agar lebih modern dan efesien.

Menurut saya, penolakan publik redenominasi lebih banyak berasal dari kesalahpahaman konsep. Selama pemerintah konsisten menjaga stabilitas ekonomi dan memberikan sosialisasi yang memadai, kebijakan ini justru berpotensi meningkatkan kepercayaan terhadap rupiah, bukan sebaliknya. Penyederhanaan nominal bukanlah penghapusan nilai melainkan hanya berubahnya angka, bukan kekuatan mata uangnya.

Sejauh ini, Indonesia sudah beberapa kali membahas rencana redenominasi. Menurut laporan singkat dari Dewan Perwakilan Rakyat  (Desember 2012), wacana redenominasi pertamakali dibahas secara serius di tahun 2010, pada masa pemerintahan presiden susilo bambang Yudhoyono. 

Pada saat itu Bank Indonesia di bawah kepemimpinan Darmin Nasution, mengusulkan penghapusan tiga angka nol pada mata uang rupiah. RUU Redenominasi Rupiah bahkan masuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional 2013. Meskipun hal ini belum pernah diimplementasikan, Indonesia telah memiliki beberapa tahap perencanaan formal terkait redonominasi.


Kebijakan ini sebenarnya bertujuan mewujudkan sistem pembayaran yang lebih sederhana dan efesien. Bank Indonesia menegaskan bahwa redenominasi tidak memiliki dampak terhadap nilai riil uang, namun karena belum diterapkan data empiris di Indonesia memang masih terbatas. Meski begitu, pengalaman dari negara lain seperti Turki dan Rusia telah berhasil menerapkan redenominasi dengan hasil yang posistif. 

Di Turki pada tahun 2005, penghapusan enam angka nol pada lira justru memperkuat kepercayan publik terhadap stabilitas ekonomi dengan membuat transaksi menjadi lebih efesien dan akuntansi keuangan lebih sederhana. Lalu di Ukraina pada tahun 1996 juga sudah berhasil melakukan redenominasi dengan mengurangkan lima angka nol. 

Pengalaman serupa menunjukkan bahwa yang menentukan nilai mata uang bukanlah jumlah angka nol di belakangnya, melainkan stabilitas ekonomi makro, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan juga kepercayaan publik terhadap kepercayaan moneter.

Dari para ahli telah menyampaikan beragam pendapat, mencerminkan perspektif yang berbeda-beda mengenai kesiapan Indonesia. Shubham chaudhuri, ekonom bank dunia untuk Indonesia, menilai redenominasi dapat mencerminkan kesiapan ekonomi nasional dan memperkuat kepercayaan publik terhadap rupiah. 

Di sisi lain Airlangga Hartato,  yang saat itu menjabat sebagai ketua umum Asosiasi perusahaan tercatat di Indonesia, berpendapat bahwa kebijakan tersebut kurang tepat karena kesiapan psikologis dan ekonomi publik belum sepenuhnya terbentuk. Perbedaan pandangan ini menunjukkan bahwa kebijakan redenominasi bukan sekedar steknis moneter, tetapi juga bekaitan dengan aspek sosial dan persepsi publik. 

Jika diterapkan redenominasi membawa dua kemungkinan. Dari sisi positif, penyederhanaan nominal akan mempermudah transaksi, meningkatkan efesiensi pembayaran digital maupun manual, serta memperkuat citra rupiah di tingkat internasional. 

Namun dari sisi lain, risiko seperti inflasi psikologis, pembulatan harga, serta biaya penyesuaian sisitem transaksi tidak bisa diabaikan. Selain itu, masyarakat yang kurang memahami kebijakan ini dapat salah penafsiran perubahan nominal sebagai penurunan nilai tukar. Oleh karena itu, edukasi publik harus menjadi prioritas.

Selain itu, Indonesia sendiri telah menunjukkan stabilitas ekonomi yang cukup baik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa inflasi tahunan tetap terkendali di bawah 4% dalam beberapa tahun terakhir, sementara pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5%.  

Stabilitas tersebut diperkuat oleh rilis Bank Indonesia pada tanggal 4 September 2025 yang mencatat bahwa tekanan nilai tukar Rupiah pada awal September lebih dipengaruhi oleh penguatan dolar global dan arus keluar modal jangka pendek, bukan oleh pelemahan kondisi domestik. Hal ini menunjukkan bahwa secara fundamental rupiah tidak “terdepresiasi”, melainkn menunjukkan ketahanan yang relatif dan kuat ditengah tekanan global. 

Dengan demikian redenominasi bukanlah bentuk penurunan nilai rupiah, melainkan penyederhanaan sistem moneter agar transaksi lebih efesien dan perekonomian nasional lebih moderen. Nilai tukar rupiah mungkin menyusut, tetapi nilai rupiah dalam kepercayaan dan daya beli tetap sama.

Menurut pendapat saya, redenominasi akan menguntungkan Indonesia dalam jangka panjang apabila pemerintah mampu untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memberikan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat. 

Lebih dari sekedar perubahan angka, kebijakan ini menjadi simbol bahwa Indonesia siap melangkah ke sistem ekonomi yang lebih ringkas, efesien, dan kompetitif. Rupiah mugkin tampil dengan nominal yang lebih kecil, tetapi nilai dan martabatnya tidak berkurang justru berpotensi meningkat seiring membaiknya persepsi publik.***

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar