Apakah Kebijakan Publik Bisa Netral? Menimbang Moralitas di Balik Regulasi Pemerintah di Kota Pangkalpinang
| Foto: Ira Amelia Purkana, Mshasiswa Pascasarjana Institut Pahlawan 12/Sangfajarnews. |
Oleh Ira Amelia Purkana -Mahasiswa Pascasarjana Institut Pahlawan 12.
SANGFAJARNEWS.OM - Di ruang diskusi kebijakan publik, netralitas sering digambarkan sebagai tujuan ideal. Pemerintah dianggap sebagai pihak yang hanya menjalankan peraturan dan prosedur teknokratis.
Namun dalam praktiknya, terutama pada level pemerintahan daerah seperti Kota Pangkalpinang, setiap kebijakan selalu berangkat dari nilai, kepentingan, dan moralitas. Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah kebijakan publik bisa benar-benar netral?
Dalam penyusunan kebijakan di Pangkalpinang, pemerintah sering dihadapkan pada pilihan yang memerlukan keberpihakan moral. Contoh paling dekat adalah kebijakan penataan pedagang kaki lima (PKL) di kawasan pusat kota dan ruang publik seperti Alun-Alun Taman Merdeka.
Pemerintah daerah berkepentingan menjaga keteraturan, kebersihan, dan estetika kota, sementara di sisi lain, PKL menggantungkan kehidupan keluarga pada aktivitas ekonominya.
Ketika sebuah kebijakan penataan diberlakukan dan PKL dipindahkan, sesungguhnya pemerintah sedang memutuskan nilai mana yang lebih penting, estetika kota atau keberlanjutan ekonomi rakyat kecil.
Di sini tampak jelas bahwa kebijakan bukanlah keputusan teknis yang netral, melainkan sarat pertimbangan moral.
John Rawls dalam teori keadilan sebagai fairness menegaskan bahwa keputusan yang adil adalah keputusan yang memperhatikan kelompok paling lemah.
Dengan menggunakan perspektif ini, seharusnya penataan PKL tidak hanya berorientasi pada estetika kota, tetapi juga memberikan solusi humanis seperti penyediaan lokasi usaha yang layak, akses modal UMKM, hingga pelatihan usaha.
Kebijakan yang mengedepankan partisipasi dan dialog menunjukkan keberpihakan moral pada keadilan sosial.
Sementara itu, Michel Foucault melihat kebijakan sebagai instrumen kekuasaan: pemerintah bukan hanya mengatur tindakan masyarakat, tetapi juga membentuk cara masyarakat memahami apa yang benar dan salah.
Ketika pemerintah menyampaikan narasi bahwa “penertiban PKL adalah demi keindahan kota,” masyarakat cenderung menerima bahwa kehadiran PKL adalah masalah, meskipun sebenarnya PKL menjalankan fungsi ekonomi yang penting. Di sini kebijakan membentuk realitas sosial.
Kebijakan publik di Pangkalpinang, seperti di banyak daerah lain, tidak bisa dilepaskan dari dinamika kepentingan politik, kepentingan ekonomi, dan tekanan sosial.
Ketika proyek revitalisasi atau pembenahan kawasan muncul, sering kali investor dan wisatawan dianggap sebagai prioritas. Kebijakan menjadi alat kompromi antara nilai moral, kepentingan politik, dan kebutuhan ekonomi.
Namun publik jarang diajak berdiskusi secara terbuka mengenai nilai apa yang menjadi dasar kebijakan tersebut.
Karena itu, gagasan bahwa “kebijakan publik itu netral” adalah mitos. Kebijakan selalu berpihak dan pertanyaannya hanya, berpihak pada siapa? Jika kebijakan di Pangkalpinang hanya berpihak kepada estetika kota atau pertumbuhan ekonomi, maka moralitas yang mengutamakan kemanusiaan dan keadilan telah diabaikan.
Namun bila kebijakan memberi ruang dialog kepada masyarakat, mempertimbangkan dampaknya bagi kelompok rentan, dan mengedepankan transparansi, maka keberpihakan moral bergerak pada prinsip keadilan publik.
Pada akhirnya, kebijakan publik tidak harus netral yang penting adalah ia berpihak kepada kebaikan. Netralitas hanyalah ilusi, tetapi keberpihakan pada keadilan adalah pilihan.***
- Dilarang promosi suatu barang
- Dilarang jika memasang link aktif di komentar
- Dilarang keras promosi iklan yang berbau judi, pornografi dan kekerasan
- Dilarang menulis komentar yang berisi sara atau cemuhan
Kebijakan komentar yang bisa Anda temukan selengkapnya disini
Dukungan :
Jika menyukai dengan artikel blog kami, silahkan subscribe blog ini