Penambangan Nikel di Raja Ampat Berpolemik, Inilah Tanggapan Direktur Eksekutif IEDS!

Foto: Penampakan Pertambangan Nikel di Raja Ampat Papua/Sangfajarnews.

JAKARTA, SANGFAJARNEWS.COM - Belakangan ini, topik hilirisasi nikel kembali memanas menyusul sorotan terhadap dampak  penambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, salah satu wilayah dengan biodiversitas laut terkaya di dunia. 

Penambangan ini bukan hanya mengancam ekosistem langka yang menjadi warisan dunia, tetapi juga memperuncing pertanyaan mendasar: untuk siapa sesungguhnya hilirisasi dijalankan?

Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS), Rifqi Nuril Huda, menyampaikan pernyataan kritisnya tentang polemik pertambangan di Kabupaten Raja Ampat.

“Saya termasuk yang menaruh harapan sekaligus kewaspadaan. Harapan karena hilirisasi memang membuka peluang besar untuk keluar dari jebakan negara eksportir bahan mentah. Tapi waspada, karena tanpa arah dan tata kelola yang benar, hilirisasi bisa berubah menjadi jebakan sumber daya yang baru serta membuat kita makin jauh dari kedaulatan energi dan keadilan sosial yang sejati,” katanya, Sabtu (7/6/2025).

Sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia sejatinya sedang duduk di atas “tambang masa depan.” Nikel adalah bahan baku utama baterai kendaraan listrik yang menjadi simbol transisi energi global. Namun dalam praktiknya, hilirisasi justru kerap dikendalikan oleh investasi asing, terutama dari Tiongkok, sehingga menimbulkan pertanyaan besar tentang siapa yang benar-benar memegang kendali atas sumber daya strategis ini.

“Apakah kita benar-benar mengendalikan kartu itu? Atau kita justru kembali menjadi penonton dalam panggung besar industrialisasi global yang dikendalikan oleh negara-negara industri?” sambungnya.

Raja Ampat, Nikel, dan Ujian Konstitusi

Rencana eksploitasi nikel di Raja Ampat adalah contoh nyata bagaimana investasi tambang kerap menabrak akal sehat ekologis dan konstitusional. Padahal Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya menegaskan bahwa Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bukan sekadar pasal biasa, melainkan pilar konstitusional yang menegaskan bahwa sumber daya alam dan cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 tentang Sumber Daya Air & Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Penambangan nikel di kawasan seunik Raja Ampat bukan hanya bentuk pengabaian terhadap keanekaragaman hayati, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Hak menguasai negara bukan berarti izin menjual atau merusak, tetapi tanggung jawab mengelola dengan akal sehat, keadilan, dan visi jangka panjang,” ujar Rifqi.

Ketimpangan dan Luka Sosial yang belum sembuh di Tengah Smelter Megah

Rifqi juga mengkritisi bahwa narasi besar hilirisasi kerap tidak sebanding dengan kenyataan di lapangan. Di berbagai daerah penghasil nikel seperti Morowali, Halmahera, Konawe, hingga Obi, masyarakat lokal masih bergelut dengan isu-isu klasik: keterbatasan air bersih, konflik tanah, pencemaran lingkungan, dan ketimpangan sosial-ekonomi yang akut.

“Ironisnya, semua ini terjadi atas nama hilirisasi. Padahal, esensi hilirisasi semestinya untuk kesejahteraan rakyat, bukan memperluas ketimpangan dan derita sosial,” tegas Rifqi.

Jebakan Geopolitik dan Perang Mineral Kritis

Tantangan hilirisasi juga semakin kompleks dengan adanya persaingan geopolitik antara Amerika Serikat dan Tiongkok dalam penguasaan rantai pasok mineral kritis. Indonesia yang banyak menggandeng investasi dari Tiongkok justru menghadapi risiko produk hilirnya tidak diakui di pasar Amerika karena terkena label Foreign Entity of Concern (FEOC) sesuai dengan Inflation Reduction Act (IRA).

“Hilirisasi hari ini bukan sekadar urusan tambang dan ekspor, tapi sudah masuk ke ranah pertarungan geopolitik global. Pertanyaannya, apakah kita punya strategi nasional yang utuh untuk menghadapi hal ini?,” ujar Rifqi.

Empat Jalan Menuju Tata Kelola Berkeadilan

Rifqi menekankan empat langkah konkret agar hilirisasi tidak menjadi jebakan baru:

1. Letakkan hilirisasi dalam kerangka transisi energi nasional, Fokus pada penguasaan teknologi, penguatan industri dalam negeri, dan keadilan iklim antar generasi.

2. Bangun diplomasi ekonomi cerdas, Lakukan perjanjian dagang strategis agar produk nikel Indonesia tetap diterima di pasar global.

3. Prioritaskan perlindungan lingkungan dan sosial, Perkuat regulasi, tegakkan hukum, dan lindungi masyarakat lokal serta adat.

4. Perkuat kelembagaan nasional, Optimalkan peran Indonesia Battery Corporation (IBC) dan lembaga pengelola ekspor nikel seperti Danantara.


*Dari Eksploitasi ke Inovasi*


_“Sering kali kita terjebak pada anggapan bahwa hilirisasi adalah tujuan akhir. Padahal, hilirisasi hanyalah jalan. Tujuan akhirnya adalah kedaulatan energi, kemandirian industri, dan kesejahteraan rakyat,” tegas Rifqi.

Dalam semangat itu, Rifqi menutup pernyataannya dengan mengutip Bung Karno tentang penegakan keadilan sosial, membangun kekuatan produksi nasional, dan merebut kedaulatan ekonomi bangsa.

"Tegakkan keadilan sosial, bangun kekuatan produksi nasional, dan rebut kedaulatan ekonomi bangsa"_ yang merupakan bagian dari pemikiran Bung Karno tentang Trisakti (kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian budaya) dan visi ekonomi berdikari. Pemikiran ini menekankan pentingnya kekuatan nasional dan kemandirian ekonomi untuk mencapai keadilan sosial," tandasnya.***

Laporan : Redaksi.
Editor     : Adhar.
Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url