Proyek Geotermal Mengancam Ruang Hidup, Gerakan Perlawanan Dilakukan Multi-front; Cara Warga Melawan Upaya Negara Melanggengkan Dominasi
![]() |
Foto: Para Peserta saat sedang menyimak materi diskusi/Sangfajarnews. |
YOGYAKARTA, SANGFAJARNEWS.COM - Proyek energi panas bumi (geotermal) yang dikembangkan di beberapa wilayah di Nusa Tenggara Timur (NTT), bukan hanya berbicara soal transisi energi atau energi baru dan terbarukan (EBT), melainkan yang paling penting adalah tentang keadilan ekologis dan masa depan ruang hidup masyarakat setempat di mana lokasi proyek geotermal ditetapkan.
Resistensi yang dilakukan warga terhadap kehadiran proyek ini yang dianggap menolak kemajuan, sebetulnya adalah bentuk ekspresi karena mereka merasa terancam dari ruang hidup mereka, apalagi dengan kehadiran negara yang sangat dominatif dan otoritatif untuk membungkam warga dan memaksa warga tunduk atas nama pembangunan.
Ketika negara hadir tidak untuk memberikan sosialisasi dengan menampilkan fakta yang sesungguhnya baik dampak positif dan negatif dari proyek geotermal sebagai bentuk mitigasi sebelum proyek ini dilaksanakan, tetapi hanya menampilkan cerita suksesnya saja, tidak heran warga mengalami kebingungan bahkan sampai melakukan penolakan dan perlawanan.
Karena itu, kehadiran proyek geotermal di NTT perlu dicurigai untuk tidak menerimanya begitu saja apalagi kalau dianggap sebagai bentuk kepedulian negara, tetapi perlu dan mendesak untuk dikritisi: proyek ini membawa berkat atau justru menimbulkan petaka.
Atas dasar itulah, pada 24 Juni Mangggarai Ba Nera APMD, organisai mahasiswa asal Manggarai Raya, NTT yang sedang berkuliah di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) ‘APMD’ Yogyakarta menyelenggarakan diskusi bertajuk, ‘Proyek Geotermal di NTT: Berkah atau Petaka?’.
Kegiiatan itu berlangsung di Ruang GPN21 kampus tersebut, diskusi ini menghadirkan Hans Hayon, Analis Media Monitoring, Peneliti Isu Sosial dan Demokrasi, Ignatius Jaques Juru dan Fatih Gama Abisono Nasution, Dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Pemerintahan di STPMD ‘APMD’ sebagai narasumber dan dimoderatori Ergenius Tesen, mahasiswa semester akhir Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ yang berasal dari Poco Leok, Manggarai.
Ancam Ruang Hidup
Ignatius Jaques Juru mengatakan, geotermal sebagai suatu ‘diskursus politik’ yang menguat di Indonesia, harus diletakkan dalam konteks perkembangan diskursus energi di tingkat global, seperti soal transisi energi dan perubahan iklim.
Indonesia sendiri, kata Rian sapaannya, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menjadikan isu transisi energi sebagai bagian dari diplomasi luar negeri dan kemudian ikut meratifikasi perjanjian-perjanjian penting terkait hal itu.
Namun dalam praktiknya, tambah dia, geotermal mengalami pergeseran. Jika sebelumnya panas bumi merupakan bagian dari pertambangan sebagaimana diatur dalam Undang Nomor 27 Tahun 2003, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, panas bumi bukan lagi bagian dari pertambangan.
Rian berkata, implikasinya UU ini menjadi kerangka dasar yang menjelaskan pembangunan proyek geotermal bisa dilakukan di mana saja di seluruh Indonesia, baik di kawasan konservasi darat, laut, hutan lindung, maupun tanah-tanah adat.
Konstruksi itu, kata dia, yang membuat geotermal menjadi suatu ‘barang bebas’ yang bisa dibangun di mana saja.
“Ini hanya gestur politik, bukan berdasarkan kebenaran objektif sehingga menjustifikasi geotermal sebagai energi baru dan terbarukan,” katanya.
Pergeseran panas bumi sebagai bukan bagian dari pertambangan berjalan bersamaan dengan penetapan pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi.
Menurutnya, penetapan itu bukan semata karena di Flores terdapat potensi panas bumi, melainkan ada konteks global dan kepentingan ekonomi-politik nasional yang menjadikan transisi energi atau energi hijau dikonstruksi sebagai kebutuhan strategis yang harus dibangun dalam skala besar, termasuk di Flores.
Negara, kata Rian, membangun narasi seolah-olah proyek ini adalah ‘berkat’ bagi warga. Dalam pidato-pidato elit nasional, masyarakat Flores disebut hidup di tanah surga yang diberkahi energi panas bumi, yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kontribusi dalam mengatasi perubahan iklim global.
Ia mengungkapkan, narasi seperti itu sangat jauh dari pikiran masyarakat lokal. Bagi masyarakat lokal, lanjut dia, tanah bukan semata tempat hidup, tetapi tempat berelasi secara kultural dan spiritual.
“Meskipun narasi negara itu digaungkan terus, warga tetap menolak dan membangun perlawanan yang sangat kuat dan organik. Kehadiran proyek geotermal mengancam dan mengganggu cara mereka melihat ruang hidup,” ungkap Rian.
Terjadi Dominasi
Menurutnya, ‘kita bisa mendeteksi logika dominasi negara dari bekerjanya proyek ini.’ Ia mencontohkan kehadiran geotermal di Wae Sano, Manggarai Barat, negara hadir dengan berbagai aparatusnya seperti tentara, polisi, ilmuwan, antropolog serta investor, dan ‘masuk menentukan titik-titik di belakang rumah warga, di kebun warga.’
Dari perspektif ruang, kata dia, warga yang menolak adalah mereka yang memang memiliki kedekatan dan menjadi bagian dari ruang mereka beraktivitas dalam mengakses mata pencaharian.
Karena itu, lanjut dia, seberapa meyakinkan kajian yang ada dengan justifikasi sains, masyarakat tetap melihatnya sebagai praktik yang dominatif karena menganggap yang datang tidak menghargai mereka yang menjadi penguasa teritorial di situ, bukan hanya tanah melainkan ‘relasi yang intim dengan ruang hidup mereka.’
Rian mengungkapkan, negara datang dengan narasi besar: pembangunan, energi hijau, dan transisi energi. Tapi warga punya narasi sendiri, ‘Ini ruang hidup kami.’
“Mereka menolak bukan karena anti pembangunan, tetapi karena negara datang tanpa menghargai relasi dan ikatan mereka dengan tanah,” ungkapnya.
Dalam masyarakat Manggarai, kata dia, terdapat konsep kampung dengan makna mendalam serta memberi makna terhadap kedirian dan identitas mereka sebagai masyarakat Manggarai, yang di dalamnya mengandung natas labar (tempat bermain), uma bate duat (kebun untuk bekerja), wae teku (mata air), boa (kuburan leluhur), dan compang (tempat memberi persembahan).
Lima Cara
Lebih lanjut, Rian menjelaskan lima cara/skema yang digunakan negara untuk melanggengkan logika dominan di balik beroperasinya proyek geotermal.
Pertama, melalui kontrol narasi. Banyak media baru muncul dan ada yang tiba-tiba jadi jurnalis, bahkan dilatih secara khusus untuk memberitakan transisi energi.
Selain melalui kampanye media, kontrol narasi juga dilakukan melalui kerja pengetahuan, ketika negara menghadirkan antropolog untuk menyatakan tidak ada masyarakat adat di wilayah proyek.
Bagi dia, cara ini dilakukan untuk melemahkan perlawanan warga. Meski demikian, lanjut dia, warga tidak tunduk pada ‘konstruksi pengetahuan kolonial tentang masyarakat adat.
Bagi warga, masyarakat adat adalah ketika mereka hidup dengan cara tertentu seperti membangun relasi kosmologis dengan leluhur, beraktivitas di kebun.
Kedua, menggunakan perangkat regulasi. Orang-orang yang melawan dianggap menggangu pembangunan. Perangkat regulasi tidak memberi ruang terhadap protes, suara politik resistensi warga.
Ketika terjadi penolakan yang luar biasa, kata dia, pemerintah menggunakan bahasa yang sifatnya otoriatif, misalnya ‘kalian tidak bisa menolak karena ini program pusat’, ‘tanah ini sudah disetujui pemilik tanah’, ‘kami bisa mengakses ini atas dasar kepentingan umum’, untuk menjustifikasi legalitas pelaksanaan proyek.
Ketiga, melalui skema societal corporatism (korporatisme sosial), dengan melibatkan warga dalam proyek, menawarkan beasiswa, Corporate Social Responsibility (CSR), dan janji-janji kepada warga agar mereka mendukung proyek. Ini menyebabkan kontestasi dan konflik horizontal antara masyarakat yang mendukung proyek dan mereka yang menolak untuk mempertahankan ruang hidup.
Keempat, dengan menggunakan kekuatan intimidatif, tidak hanya melalui kekerasan fisik atau mendatangkan aparat tetapi juga dengan menghadirkan lembaga-lembaga yang punya otoritas untuk menekan warga secara psikologis.
Terakhir, cara lain untuk melanggengkan dominasi adalah dengan modal. Misalnya dengan bantuan pendanaan dari World Bank seperti di Wae Sano yang pada akhirnya mengundurkan diri lalu dialihkan untuk dikelola BUMN di bawah kementerian keuangan.
Melalui cara ini negara seakan-akan ingin menegaskan, ‘kalau negara yang mengelola ini tidak ada lagi suara yang berbeda,’ kata Rian.
Warga Melawan
Rian mengatakan, berhadapan dengan logika dominasi dan kontrol narasi yang dilakukan negara, warga Flores melakukan perlawanan dengan menggunakan narasi ‘ruang hidup’.
Ruang hidup, kata dia, bisa disandingkan dengan ‘politic of belonging’, politik yang selalu terhubung dengan sesuatu yang melekat dalam dirinya, entah hubungan dengan tanah, pekerjaan maupun dengan lingkungan sosialnya.
Selain itu, tambah dia, karakteristik gerakan perlawanan juga dibangun dengan pola strategi multi-front, gerakan yang terdiri dari banyak pihak dan dilakukan dari berbagai arah, baik itu dari masyarakat adat, Gereja, organisasi masyarakat sipil, dan juga warga diaspora.
Salah satu kekuatan besar dari gerakan perlawanan warga adalah proses co-learning, belajar bersama belajar bersama untuk membangun kesadaaran kritis.
Bagi warga, kata dia, belajar itu bukan hanya mengakumulasi pengetahuan, melainkan yang paling utama adalah membangun kesadaran kolektif untuk melawan dominasi negara.
“Jika negara datang membawa pengetahuan satu arah, berupa hasil riset yang memaksa warga untuk menerima proyek geotermal, maka warga membangun proses belajar kolektif dan kritis,” tegas Rian.
Tiga Klaster Publik
Sementara itu, Hans Hayon memetakan tiga klaster publik dalam proyek geotermal. Pertama, warga, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Gereja. Entitas Gereja terdiri atas para uskup yang umumnya diwakili Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD.
Sementara itu, kata dia, entitas warga terbelah menjadi dua segmen yaitu pro dan kontra. Tokoh adat gendang Mesir, Desa Lungar, Vinsensius Godat, berada dalam pihak pro sedangkan masyarakat yang kontra di antaranya: Ketua Umum Forum Komunikasi dan Advokasi Komunitas Flobamora (FKKF) Jakarta, Marsel A. Wawo, Judianto Simanjuntak dari Koalisi Advokasi Poco Leok, dan Kuasa Hukum Pemuda Poco Leok sekaligus Staf Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Yulianto Behar Nggali Maria.
Klaster kedua, ungkap Hans, yakni kelompok pendukung geotermal yang terbagi atas dua yakni pemerintah Provinsi NTT yang diwakili Melki Laka Lena, Gubernur NTT serta pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang diwakili Yasir, General Manager PT PLN UIP Nusa Tenggara.
Selanjutnya klaster ketiga yaitu Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) yang diwakili Yuliot Tanjung, Wakil Menteri ESDM, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi dan Eben Ezer Siahaan, Direktur Daya Mas Nage Geotermal.
Minimnya Media Alternatif yang Menyuarakan Penolakan Warga
Ia menyampaikan, dalam enam bulan terakhir (Januari–Juni), jumlah pemberitaan terkait geothermal di NTT masih tergolong sedikit jika dibandingkan isu-isu nasional.
Sebagian besar konten media online berasal dari rilis dan narasi pemerintah, terutama setelah hadirnya pakar panas bumi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Pri Utami yang diundang langsung oleh Gubernur NTT pada 28 April untuk memperkuat legitimasi ilmiah proyek.
Hans berkata, dukungan dari Teknik Geologi UGM terhadap proyek geotermal dan apresiasi Dirjen EBTKE kepada Pemda Manggarai yang dianggap konsisten mendukung dan bersinergi dengan PLN untuk mendukung pengembangan panas bumi yang sedang digarap, menjadi topik yang banyak dikutip media arus utama.
“Narasi penolakan atau wacana tandingan dari warga atau dari Gereja hanya muncul di media lokal, paling banyak di Floresa.co, sebagai media alternatif yang memberi ruang bagi suara warga yang menolak proyek ini,” ungkap Hans.
Berdasarkan analisis pengguna media sosial, Hans menyampaikan bahwa kaum laki-laki berusia 26-40 tahun lebih melek dan sadar dengan isu terkait geotermal di NTT yaitu sebesar 36 persen, diikuti rentang usia 41-45 tahun sebanyak 32 persen dan 28 persen untuk usia 31-35 tahun.
Hans berkata, hanya 4 persen generasi muda berusia 26-30 tahun yang sensitif terhadap isu ini di media sosial. Isu ini sama sekali tidak dibahas oleh generasi di bawah usia 25 tahun.
Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, isu ini paling banyak dibahas laki-laki yaitu sebanyak 93 persen, sementara perempuan hanya 7 persen.
Menariknya, tambah dia, berdasarkan bot detection, sebanyak 67 persen isu geotermal tidak organik, kontennya disebarkan dari akun cyborg serta 2 persen konten disebarkan menggunakan robot. Hanya 31 persen konten disebarkan manusia atau pengguna organik.
“Ini menunjukkan bahwa distribusi informasi sangat rentan dimanipulasi oleh jaringan tidak organik untuk memperkuat atau melemahkan narasi tertentu,” kata Hans.
Membawa Sengsara
Fatih Gama Abisono Nasution menyoroti aspek perencanaan kebijakan. Soni, sapaannya menekankan pentingnya keterlibatan warga sejak awal proyek bukan ketika proyek sudah berjalan dan transparansi informasi.
Ia mengkritik bahwa target 23 persen energi baru terbarukan pada 2025 tidak tercapai dan malah diturunkan.
“Artinya, pemerintah sendiri tidak konsisten dengan komitmennya,” kata dia.
Menurutnya, proyek geothermal, yang disebut sebagai bagian dari energi bersih, ternyata justru membawa persoalan sosial.
Di Poco Leok misalnya, proyek ini dianggap tidak ramah lingkungan dan tidak melibatkan masyarakat sejak awal, kata dia.
“Alih-alih menjadi proyek strategis nasional, ini malah jadi proyek ‘sengsara nasional’ yang menyisakan air mata bagi warga desa,” ungkapnya.***
Editor : Redaksi.