Negara vis-à-vis Rakyat

 

Foto: Wisnu Dewa Wardhana/Sangfajarnews.

Penulis: Wisnu Dewa Wardhana.

SANGFAJARNEWS.COM - Agustus 2025 mencatat sejarah kelam bagi demokrasi Indonesia. Gelombang protes yang seharusnya menjadi ekspresi sah rakyat dalam menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, justru dibalas dengan kekerasan brutal oleh aparat negara. 

Kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring berusia 21 tahun yang terlindas kendaraan taktis Brimob saat unjuk rasa di Jakarta, menjadi simbol dari represifitas negara terhadap warganya. 

Selain Affan, korban jiwa lainnya, yang tercatat hingga saat ini diantaranya adalah Sarinawati, Saiful Akbar, Muhammad Akbar Basri, Rusdam Diansyah, Budi Haryadi, Rheza Sendy Pratama, Sumari, Andika Lutfi Falah, Septinus Sesa, dan Iko Juliant Junior.

Penangkapan massal terhadap lebih dari 1.200 orang di Jakarta dalam satu pekan, serta kekerasan terhadap jurnalis yang sedang meliput aksi, menunjukkan bahwa negara lebih memilih menekan suara rakyat daripada mendengarkan tuntutan mereka. 

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sedikitnya 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2025, dengan sebagian besar pelaku diduga berasal dari aparat kepolisian dan militer.


Ketidakefisienan pemerintah dalam menangani krisis ini memperburuk keadaan. Alih-alih mendengarkan suara rakyat dan mengevaluasi kebijakan yang ada, pemerintah mengerahkan aparat untuk membungkam protes. 

Instruksi Presiden Prabowo Subianto kepada TNI dan Polri untuk mengambil langkah tegas menghadapi demonstrasi menunjukkan pendekatan otoriter yang mengabaikan hak dasar warga negara. 

Hal ini juga menjadi justifikasi aparat untuk kembali menggunakan kekerasan terhadap gerakan masyarakat sipil atas nama ketertiban umum. Sementara, demonstrasi rakyat untuk menuntut perubahan, di sisi lain, juga rentan disusupi penunggang gelap yang menimbulkan kerusuhan, sehingga menjustifikasi penggunaan kekerasan oleh aparat, termasuk TNI dan Polri.


Apa yang sudah terjadi juga membuktikan bahwa reformasi menyeluruh terhadap institusi kepolisian dan militer menjadi keharusan. Polisi dan TNI harus berfungsi sebagai pelindung hak-hak warga negara, bukan sebagai alat untuk menekan kebebasan berekspresi. 

Reformasi ini harus mencakup perubahan struktural, penegakan akuntabilitas, dan pengawasan ketat terhadap tindakan aparat di lapangan. SOP dan peraturan terkait pengendalian operasional di lapangan harus diikuti oleh komitmen akan pentingnya perlindungan HAM dan kebebasan, sesuai koridor hukum yang berlaku.

Kebebasan berbicara dan hak untuk berkumpul adalah pilar utama demokrasi. Kebebasan ini juga merupakan bagian dari hak asasi manusia, termasuk kebebasan berpendapat di muka umum, yang jelas diakui dan dilindungi oleh konstitusi maupun peraturan perundang-undangan terkait lainnya. 

Ketika negara menggunakan kekerasan untuk membungkam suara rakyat, hal tersebut bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga ancaman terhadap demokrasi itu sendiri. Negara harus diingatkan bahwa legitimasi kekuasaan datang dari rakyat, bukan dari barikade, gas air mata, atau kendaraan taktis.

Diskursus soal makar lewat tuntutan rakyat maupun campur tangan asing atas gelombang demonstrasi rakyat hanya menunjukkan ketidakbecusan pemerintah dan pilar demokrasi lainnya, termasuk aparat keamanan dan pertahanan, parlemen, serta penegak hukum dalam menjalankan fungsi mereka sebagaimana mestinya. 

17+8 Tuntutan Rakyat sudah memberikan peta jelas soal aspirasi rakyat dan siapa yang dituntut untuk melakukan apa. Tentu hal ini harus diikut proses yang menegakkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, bukan sekedar retorika dan formalitas semata.

Rakyat menuntut bukti, bukan sekadar permintaan maaf atau jargon dan wacana yang mengelabui dan membodohi rakyat, termasuk kata “menonaktifkan” politisi di Senayan, yang pada akhirnya akan tetap menerima gaji dan tunjangan yang notabene jadi masalah awal yang ditentang rakyat. 

Gelombang protes di Agustus 2025 adalah panggilan bagi negara untuk kembali ke jalur demokrasi. Jika pemerintah gagal menanggapi tuntutan rakyat, maka perlawanan akan terus berlangsung.

Reformasi kepolisian dan militer bukanlah pilihan, tetapi keharusan untuk memastikan bahwa negara benar-benar melayani rakyatnya, bukan menindasnya.***

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url