Refleksi Sejarah Pergerakan Perempuan NU Terhadap Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia

Foto: Pratiwi Madi ketua IPPNU Bone Bolango/Sangfajarnews.


Oleh: Pratiwi Madi, Ketua IPPNU Bone Bolango.

SANGFAJARNEWS.COM - Makna Kemerdekaan RI dapat dipelajari dari sosok perempuan. Kita dihadapkan pada kondisi yang sama dengan perempuan sebelum kemerdekaan. Perjuangan perempuan NU dalam melawan penjajah dilakukan melalui berbagai cara, termasuk dakwah, sosial, pendidikan, dan bahkan perjuangan fisik.

Pada awal abad XX, masyarakat Indonesia masih di bawah tekanan para penjajah dalam segala bidang. Kondisi ini membuat masyarakat sadar dan melakukan perlawanan, termasuk kaum perempuan. Beberapa perempuan seperti RA. Kartini, Dewi Sartika serta beberapa perempuan lain, melakukan gerakan untuk mengadakan sekolah-sekolah bagi kaum perempuan pribumi. 

Gerakan tersebut dalam perkembangannya tidak hanya dilakukan oleh sebagaian individu, melainkan lebih terorganisasi. Seperti, berdirnya Poetri Mardika, Pawijatan Wanito, PIKAT, Purborini, Aisyiyah, Wanito Soesilo, Wanito Hadi, Poetri Boedi Sedjati dan yang lainnya. 

Sementara itu, kesadaran berorganisasi di kalangan perempuan NU timbul sekitar awal tahun 1930-an. Kemudian pada saat Muktamar NU di Menes-Banten tahun 1938 atau 12 tahun pasca berdirinya organisasi NU, tampil Ny. Djuaesih dan Siti Sarah yang mewakili kaum perempuan di kalangan NU untuk mengungkapkan gagasannya akan pentingnya membentuk organisasi di kalangan perempuan NU. Akan tetapi hasil keputusan dalam muktamar di Menes ini, perempuan hanya diterima sebagai anggota saja. 

Pasca muktamar tersebut, pembahasan untuk mendirikan sayap perempuan dalam tubuh NU semakin menghangat. Puncaknya ketika Muktamar NU di Surabaya tahun 1940, kaum perempuan mendesak untuk mengesahkan berdirinya organisasi perempuan di dalam tubuh NU. 

Pada saat itu peserta muktamar masih berbeda pendapat, sehingga keputusan diserahkan kepada PB Syuriah. Akhirnya, pada tahun 1946 organisasi sayap perempuan NU berdiri dengan nama Nahdlatoel Oleama Muslimat (NOM), kemudian disusul Fatayat NU dan IPPNU.

Berdirinya organisasi-organisasi perempuan NU tersebut tidak terlepas dari peran dan bantuan kaum laki-laki yang berpandangan luas, seperti KH. Mochammad Dahlan. Kiai Dahlan-lah yang membuat pernyataan dan kemudian ditandatangani oleh KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah untuk mendirikan organisasi dikalangan perempuan NU.

Di samping itu, dalam penyusunan peraturan khususi organisasi perempuan NU yang pertama, Dalam perkembangannya pergerakan organisasi-organisasi perempuan NU, baik Muslimat NU, Fatayat NU, maupun IPPNU banyak berkontribusi bagi agama, bangsa dan negara dalam berbagai bidang, baik bidang sosial, keagamaan, pendidikan, maupun politik. 

Pada masa revolusi fisik tahun 1945-1950, perempuan NU ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari penjajah. Mereka berjuang di garis belakang untuk membantu kaum laki-laki yang berjuang di medan pertempuran seperti dapur umum, palang merah, dan lain-lain. 

Sementara itu, dalam bidang sosial keagamaan, perempuan NU berkontribusi aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Perempuan NU mendirikan Yayasan Kesejahteraan Muslimat untuk menyejahterakan masyarakat, khususnya kaum perempuan. Dan dalam bidang pendidikan juga politik kontribusi perempuan NU juga sangat besar.

Lahirnya Muslimat NU juga membawa angin perubahan bagi kader-kader perempuan muda NU untuk membentuk kepengurusan tersendiri, yang diberi nama Putri NOM. Pada tahun 1950 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyetujui pembentukan kepengurusan Putri NOM yang diberi nama Dewan Pimpinan Fatayat NU.

Kelahiran Fatayat NU juga berdampak positif bagi lahirnya kader-kader pelajar putri dalam tubuh NU. Pada tahun 1955, para pelajar putri NU ini mendeklarasikan diri sebagai Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Putri di Surakarta. Kemudian disahkan oleh PB Ma’arif NU, dengan nama Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU).

Pada waktu kelahirannya, IPPNU merupakan wadah bagi pelajar putri NU yang jumlahnya memang sangat besar dan tersebar baik di sekolah-sekolah NU maupun di pesantren. Akan tetapi, dalam perjalanannya, yang menjadi anggota IPPNU tidak lagi hanya mereka yang berstatus pelajar, tapi juga mahasiswa dan sarjana pun ikut mendominasi kepengurusannya, baik di tingkat pusat, wilayah, maupun cabang.

Sejak zaman dahulu, peran wanita khususnya yang tergabung sebagai Muslimat NU telah mengemban mandat sosial keagamaan di seluruh lapisan masyarakat Keterlibatan ibu-ibu NU tidak semata mengisi dapur umum untuk memenuhi kebutuhan pangan para pejuang, namun juta turut mengangkat senjata bisa dilihat Pada rentang tahun 1946-1965, mereka turut mengikuti pelatihan militer mempertahankan kedaulatan negara.

Pengalaman Sukarelawati Muslimat NU masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan terdokumentasikan dalam bentuk foto bersejarah, seperti dalam foto Nyai Saifuddin Zuhri yang latihan menembak dengan posisi mata tertutup.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url