Optimalisasi Kebijakan Pemerintah dalam Pencegahan Kekerasan Seksual pada Remaja
![]() |
Foto: Silvi Dwi Lestari, Rifqi Adha Pratama, Ridzwan Al-Farizi, Maura Amelia Istiqomah, bersama para siswa SMA/Sangfajarnews. |
Ditulis oleh: Silvi Dwi Lestari, Rifqi Adha Pratama, Ridzwan Al-Farizi, Maura Amelia Istiqomah - Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang Serang semester 3.
SANGFAJARNEWS.COM - Kekerasan dan perundungan siswa yang ramai diberitakan media dalam beberapa waktu terakhir ini menyadarkan kita semua pentingnya membangun iklim yang nyaman dan anti kekerasan di sekolah. Dibutuhkan stretegi yang menyeluruh dalam mencegah dan menangani kekerasan di kalangan anak didik.
Pada 8 Agustus 2023, Mendikbudristek meluncurkan Merdeka Belajar ke 25: Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Tujuannya adalah mengatasi dan mencegah kasus kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi.
PPKSP ini dibuat untuk melindungi semua warga sekolah. Mulai dari siswa, pendidik, staf pendidikan, dari kekerasan selama kegiatan pendidikan baik di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2024, korban kekerasan seksual didominasi anak jenjang sekolah sekolah. Jumlahnya mencapai 64,7 persen. Data lain menyebut, 45,1 persen dari 14.517 anak, merupakan kasus kekerasan seksual.
Ketika berbicara tentang upaya mencegah dan mengatasi kekerasan, maka perlu langkah yang menyeluruh dari berbagai aspek. Dalam hal pencegahan, penting untuk dilakukan edukasi anti kekerasan, regulasi yang mendukung, hingga bagaimana iklim akademik yang kondusif yang menunjang kenyamanan dan relasi positif antar semua warga sekolah
Kompleksitas Kasus
Permendikbudristek PPKSP berupaya merespons kompleksitas kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan. Kekerasan yang diatur mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi, hingga kebijakan yang mengandung unsur kekerasan. Kekerasan yang terjadi di ranah digital juga disebutkan secara khusus dalam peraturan ini.
Dari bentuk-bentuk kekerasan tersebut, kebijakan yang mengandung kekerasan didefinisikan lebih lanjut sebagai kebijakan tertulis maupun tidak tertulis yang mengandung atau berpotensi menimbulkan tindak kekerasan. Kebijakan yang dimaksud dapat diterbitkan oleh sekolah hingga dinas pendidikan. Kebijakan ini dapat melindungi peserta didik dari kekerasan yang diakibatkan aturan yang diterbitkan sekolah.
Tak hanya itu, peraturan ini melingkupi pencegahan dan penanganan kekerasan yang dialami baik oleh atau terhadap peserta didik, maupun pendidik, tenaga kependidikan, dan warga satuan pendidikan lainnya. Aturan ini berupaya merespons kompleksitas kasus kekerasan yang tidak hanya melibatkan peserta didik, tetapi juga guru dan tenaga kependidikan, yang terjadi di dalam maupun luar sekolah dalam lingkup kegiatan pembelajaran.
Peran Sekolah dan Pemda
Peraturan ini mendorong sekolah untuk menjadi garda terdepan penanganan kasus kekerasan. Dalam enam bulan hingga satu tahun sejak disahkan, aturan ini memandatkan sekolah untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang akan didampingi oleh satuan tugas berisi beberapa perwakilan dinas di tingkat daerah. TPPK akan ditugaskan untuk menerima laporan kekerasan, memfasilitasi pendampingan, memeriksa kasus, hingga melakukan pemulihan terhadap korban.
Dengan koordinasi yang dilakukan antara TPPK dan satgas, sekolah diharapkan mampu terhubung dengan berbagai layanan di daerah untuk membantu penanganan kekerasan secara lebih holistik, seperti melalui Unit Pemberdayaan Terpadu Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang dikelola Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dengan demikian, sekolah dapat menjadi institusi penghubung berbagai layanan yang dikelola secara lintas-sektor.
Penanganan kekerasan akan diimbangi dengan berbagai upaya pencegahan kekerasan, khususnya terkait edukasi mengenai kekerasan dan perlindungan, pelatihan, penguatan sarana dan prasarana, serta tata kelola pelaksanaan pencegahan dan penanganan di sekolah. Keterhubungan antara pencegahan dan penanganan dapat membuat warga sekolah, terutama peserta didik mampu mengidentifikasi kekerasan dan melaporkannya langsung kepada pihak yang ditugaskan di sekolah.
Tantangan Implementasi
Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah menimbulkan tantangan dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan, termasuk mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan.
Untuk melaksanakan peraturan ini secara efektif, perlu ada dukungan politik dari kepala daerah, termasuk dalam pembentukan satgas, menyelaraskan agenda pelindungan anak di sekolah dalam perencanaan pembangunan daerah, khususnya memastikan pendanaan yang memadai untuk pelaksanaan di sekolah.
Semoga dengan adanya peraturan ini dapat melindungi peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Bagi pendidik dan tenaga pendidikan, peraturan ini memberikan perlindungan dalam bekerja.
Mari terus bersama-sama dalam memberi perhatian yang optimal mengenai berbagai kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan di seluruh Indonesia.***